Food Estate? Mampukah Indonesia Melaksanakannya?

Food Estate, kata-kata yang masih sedikit asing terdengar di telinga. Biasanya kita mendengar kata-kata Real Estate yang biasanya membuat pikiran kita melayang pada komplek perumahan mewah yang harganya ratusan hingga milyaran rupiah. Tapi ini bukan komplek perumahan atau komplek makanan. Jadi apa sih sebenarnya Food Estate itu?
Mungkin belum ada definisi secara baku dari Food Estate itu sendiri, karena beritanya yang masih simpang siur. Saya pun juga belum berani untuk mendefinisikannya menurut alam pikiran saya saja. Tapi sejauh yang saya tangkap dalam sebuah Seminar Nasional yang diadakan oleh Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Food Estate itu sendiri merupakan salah satu upaya untuk melakukan ekstensifikasi lahan pertanian untuk meningkatkan hasil pangan. Sebagaimana isu akhir-akhir ini mengenai pentingnya kedaulatan pangan dan mungkin juga sebagai salah satu upaya untuk mencapai swasembada beras. Ya, seperti yang kita ketahui selama ini kita masih mengimpor beras dari Thailand. Seharusnya dengan luas Indonesia kita mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri.



Tapi, ekstensifikasi lahan yang bagaimana? Lahan yang dibuka adalah lahan yang statusnya bukan lahan yang memiliki posisi "penting" baik dalam segi sosial, ekonomi maupun lingkungan. Lahan yang dipakai adalah lahan yang "nganggur" tapi bisa menghasilkan dan juga tidak merusak lingkungan alam. Bukan pula lahan petani kecil yang hanya memiliki tanah seluas 0,5 hektar.

Jadi, sudah adakah contoh yang bisa kita lihat? Ya, tentu saja. Yaitu MIFEE (Merauke Intergrated Food Energy Estate). Proyek ini diemban oleh seluruh stakeholder yang berkepentingan. Baik dari pemerintah, swasta, LSM, maupun masyarakat. Tanah yang digunakan adalah tanah ulayat yang statusnya sedikit lebih rendah dari tanah ulayat lainnya. Kemudian swasta berperan sebagai pemberi modal atau pemilik saham yang jumlahnya 10 kali lipat saham yang dimiliki oleh petani. Jadi, apakah petani kita ini akan dijadikan buruh tani dilahannya sendiri? Itu pertanyaan penting yang harus segera di jawab. Untuk kasus Merauke ini, masih banyak konflik-konflik agraria yang ditimbulkan olehnya. Status kepemilikan lahan yang masih belum jelas hingga peristiwa berdarah dalam penuntutan hak ulayat mereka. Betapa malangnya mereka yang entah "dibodoh-bodohi" atau memang pasrah.

Sadarkah pengemban proyek ini mengenai komoditas lokal yang seharusnya lebih dikembangkan? Bukan berarti pangan itu padi saja, tapi juga gandum, sagu, jagung, dan umbi-umbian juga termasuk bahan pangan. Bukankah kita mengelu-elukan diversifikasi pangan selama ini?

Banyaknya ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat dapat berimbas pada usaha yang dianggap baik ini. Jadi, solusi apa yang bisa kita berikan untuk masalah ini? Intinya adalah lakukanlah upaya kolaboratif yang tidak memanipulatif.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar